Orientasi Nilai Budaya

I. Orientasi Nilai Budaya
1. Konsep Nilai Budaya
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sduah dirmuskan oleh beberapa ahli seperti :
1) Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia.
2) Clyde Kluckhohn dalam Pelly
Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
3) Sumaatmadja dalam Marpaung
Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas vsosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain – lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
2. Sistem Nilai
Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai. Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat. Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6 masalah pokok kehidupan.
3. Orientasi Nilai Budaya
Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa sistem nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya. Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini dengan berbagai variasi yang berbeda – beda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana, dan mengenyampingkan segala tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti ini sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing individu.Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan pola yang ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat nuansa atau variasi antara kedua pola yang ekstrim itu yang dapat disebut sebagai pola transisional. Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia.

II. Manusia Menghasilkan Karya
1. Manusia
Dipandang dari segi ilmu eksakta, manusia adalah kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk jaringan sistem yang dimiliki oleh manusia (ilmu kimia). Manusia merupakan kumpulan dari berbagai sistem fisik yang saling terkait satu sama lain dan merupakan kumpulan dari energi (ilmu fisika). Manusia merupakan makhluk biologis yang tergolong dalam golongan makhluk mamalia (biologi). Dalam ilmu-ilmu sosial, manusia merupakan makhluk yang ingin memperoleh keuntungan atau selalu memperhitungkan setiap kegiatan disebut homo economicus (ilmu ekonomi). Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri (sosiologi), makhluk yang selalu ingin mempunyai kekuasaan (politik).Manusia itu terdiri dari empat unsur yang saling terkait, yaitu :
1) Jasad yaitu badan manusia yang Nampak dari luar, dapat diraba, difoto, dan menempati ruang dan waktu.
2) Hayat yaitu hal yang mengandung unsur hidup dan ditandai dengan gerak.
3) Ruh yaitu bimbingan dan pimpinan Tuhan, daya yang bekerja secara spiritual dan memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.
4) Nafas dalam pengertian diri atau keakuan, yaitu kesadaran tentan diri sendiri.
Manusia sebagai satu kepribadian yang mengandung 3 unsur yaitu :
1) Id
Merupakan struktur kepribadian yang paling primitif dan tidak nampak. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang menunjukkan ciri alami yang irasional dan terkait masalah sex yang secara instingtual menentukan proses-proses ketidaksadaran. Id tidak berhubungan dengan lingkungan luar diri, tetapi terkait dengan struktur lain kepribadian yang pada gilirannya menjadi mediator antara insting Id dengan dunia luar.
2) Ego
Merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id, sering disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang lain.
3) Super-ego
Merupakan struktur kepribadian yang paling akhir, muncul kira-kira pada usia lima tahun. Dibandingkan dengan Id dan ego yang berkembang secara internal dalam diri individu, super-ego terbentuk dari lingkungan eksternal. Jadi super-ego menunjukkan pola aturan yang dalam derajat tertentu menghasilkan control diri melalui sistem imbalan dan hukuman yang terinternalisasi.
Dari uraian diatas dapat mengkaji aspek tindakan manusia dengan analisa hubungan antara tindakan dan unsur-unsur manusia. Seringkali misalnya orang senang terhadap penyimpangan terhadap nilai-nilai masyarakat dapat diidentifikasi bahwa orang tersebut lebih dikendalikan oleh Id dibandingkan super-egonya atau seringkali ada kelainan yang terjadi pada manusia, misalnya orang yang berparas buruk dan bertubuh pendek berani tampil ke muka umum, dapat diterangkan dengan mengacu pada unsur nafs (kesadaran diri) yang dimilikinya. Semuanya dapat digunakan sebagai alat analisa bagi tingkah laku manusia. Hakekat Manusia :
a. Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
b. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
c. Makhluk biokultural yaitu makhluk hayati yagn budayawi.
d. Makhluk Ciptaan Tuhan yagn terkait dengan lingkungan, mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
2. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan selalu dimiliki oleh setiap masyarakat, hanya saja ada suatu masyarakat yang lebih baik perkembangan kebudayaannya dari pada masyarakat lainnya untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya. Pengertian kebudayaan banyak sekali dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi yang merumuskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan manusia untuk menguasa alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk kepentingan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma dan nilai masyarakat yang perlu mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk, agama, ideologi, kebatinan, kenesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan pikir dari orang yang hidup bermasyarakat dan yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan rohaniah. Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan keseluruhan arti pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapiu untuk memenuhi segala kebutuhannya serta mendorong terwujudnya kelakuan manusia itu sendiri. Atas dasar itulah para ahli mengemukakan adanya unsur kebudayaan yang umumnya diperinci menjadi 7 unsur yaitu :
1) Unsur religi
2) Sistem kemasyarakatan
3) Sistem peralatan
4) Sistem mata pencaharian hidup
5) Sistem Bahasa
6) Sistem pengetahuan
7) Seni
Dari sistem inilah maka kebudayaan paling sedikit memiliki 3 wujud, antara lain :
1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, norma, peraturan dan sejenisnya. Ini merupakan wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, lokasinya aa dalam pikiran masyarakat dimana kebudayaan itu hidup
2) Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
3) Kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia
Perubahan kebudayaan pada dasarnya tidak lain dari para perubahan manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan itu. Perubahan itu terjadi karena manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya atau karena hubungan antara kelompok manusia dalam masyarakat. Tidak ada kebudayaan yanga statis, setiap perubahan kebudayaan mempunyai dinamika, mengalami perubahan, perubahan itu akibat dari perubahan masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tersebut.
3. Manusia dan Kebudayaan
Didalam kehidupan dan keseharian manusia selalu lekat dengan kebudayaan. Di dunia ini terdiri dari sekian banyaknya manusia yang memiliki berbagai kebudayaan sesuai dimana tempat ia tinggal.
Kebudayaan juga didapat dari hasil turun-temurun dari nenek moyangnya dulu sampai saat ini. Kebudayaan itu mereka jaga dan lestarikan agar kebudayaan yang mereka punya tidak hilang ditelan oleh zaman yang saat ini, untuk itu manusia mengajari dan memperkenalkan kepada garis keturunan mereka tentang kebudayaan yang mereka miliki.
1) Wujud Kebudayaan menurut Dimensi
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.
a. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
b. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
c. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
4. Hubungan Manusia dengan Kebudayaan
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seorang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh karena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Manusia dan kebudayaan pada hakekatnya memiliki hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari seorang manusia itu adalah merupakan kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai:
1) Penganut kebudayaan,
2) Pembawa kebudayaan,
3) Manipulator kebudayaan, dan
4) Pencipta kebudayaan.
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.
1) Monokulturalisme adalah pemerintah mengusahakan terjadinya asimilaSi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
2) Leitkultur (kebudayaan inti) adalah sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
3) Melting Pot adalah kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
4) Multikulturalisme adalah sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
III. Persepsi Tentang Waktu
Hampir setiap orang beranggapan bahwa waktu adalah sesuatu yang telah di tetapkan sejak awal kehadiran alam semesta dan bersifat mutlak serta universal .namun jika dilhat pada sejarah pengenalan waktu yang di lakukan oleh manusia ,ternyata kita dapat menemukan sebuah fakta bahwa waktu ternyata di ciptakan oleh manusia ,selain itu waktu juga memliki sifat relatif faktor-faktor yang mempengaruhi titik penetapan sebuah satuan waktu .
Jika di lihat dari sejarah penetapan waktu yang di lakukan beberapa peradaban kuno ang terbilang maju di zamanya ,kita bisa menemukan beberapa titik penetapan satuan waktu yang cukup beragan .misalnya kebudayaan yunani kuno yang menetapkan satuan waktu pada pergerakan matahari kemudian peradaban mesir kuno yang menetapkan satuan waktu pada pergerakan pasir di dalam sebuah tabung kaca yang di sbut jampasir ,selain itu ada beberapa suku di asia yang mnetapkan satuan waktu dari penghitungan jumlah tetesan air yang di anggap cukup efisien dan akurat .Dari beberapa bukti di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa “waktu bukanlah suatu penetapan mutlak yang telah ada sejak awal ,melainkan sebuah konsep tentang perubahan suatu materi rill dan mengindikasikan semua perbedaan kecepatan dalam mengalami perubahan” .sehingga untuk memudahkan manusia dalam mengasumsikan seberapa cepat suatu materi bergerak maka di perulkan satu patokan mutlak yang mengalami perubahan secara konstan dan cukup akurat untuk di jadikan titik acuan atau tolak ukur dalam memberikan asumsi mengenai seberapa cepat benda-benda dikitar kita mengalami prubahan an padaenyataan yang ada ,hampir semua benda mengalami perubahan dengan kecepatan yang beragan .Sebuah pengandaian yang memudahkan anda untuk lebih memahami adalah dengan membayangkan setiap materi atau benda apapun yang terdapat di sekitar anda mengalami perlambatan pergerakan atau perubahan tanpa anda sadari ,namun diri anda masih berada pada kondisi normal dan dalam perubahan gerak tubuh yang normal .pertanyaan yang akan timbul di benak anda adalah ,”materi di sekitar lingkungan saya yang telah mengalami perlambatan atau diri saya yang sebenarnya telah melakukan percepatan ?” .untuk mengatasi hal ini tentu anda membutuhkan sebuah patokan yang anda percayai bahwa pergerakan atau perubahan yang di miliki materi tersebut bersifat konstan ,tidak berubah-ubah dan akurat ,misalnya jam tangan dan lain-lain .
Jadi kesimpulan yang bisa di ambil adalah: “waktu merupakan suatu perubahan yang meiliki siklus (berulang-ulang), konstan (tetap) dan akurasi (ketepatan sangat baik) dengan tujuan untuk membandingkan kecepatan perubahanya dengan perubahan materi lain di dunia .contoh kecilnya adalah atlit maraton yang berlatih dengan menggunakan stopwatch (penghitung waktu) .atau seorang musisi yang berlatih musik menggunakan alat petronome (penentu tempo musik) .
IV. Pandangan Terhadap Alam
Semakin kritisnya kondisi lingkungan hidup menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tak hanya para ilmuwan dan pemerhati lingkungan saja, para filsuf dan agamawan pun ikut memikirkannya. Pembahasan mengerucut pada akar masalah kerusakan lingkungan yaitu manusia.Usaha manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di satu sisi membawa manusia pada suatu era yang disebut modern, hidup manusia kian mudah, potensi yang ada di alam dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi yang lain, kemampuan manusia mengolah alam menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta [antroposentris].
Pandangan manusia terhadap alam berubah. Sebelum manusia mengenal ilmu pengetahuan modern, manusia menganggap bahwa alam memunyai kekuatan. Dikenallah dewa-dewa sebagai wujud kekuatan itu. Ada dewa penguasa langit, penguasa bumi, dewa ke suburan, dewa api, dan sebagainya. Dewa-dewa itu dipuja dengan upacara- upacara dan sesajen agar tak menurunkan murkanya. Setelah kemampuan manusia berkembang dan berhasil menemukan karakter dan hukum-hukum alam, manusia menemukan egonya,dirinyalah penguasa alam.Segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah miliknya dan digunakan sepenuhnya untuk menunjang hidupnya. Sayangnya, yang muncul kemudian bukanlah kearifan memanfaatkan alam, tapi keserakahan karena nafsu. Sebenarnya, saat itu sudah ada pemikiran untuk melestarikan alam. Salah satunya apa yang diungkapkan Immanuel Kant, filsuf asal Jerman. Dalam pandangan Kant, ada usaha manusia untuk melestarikan alam, namun usaha tersebut bukan dalam bentuk kewajiban. Bagi Kant, usaha melestarikan alam itu hanya dianggap sebagai tindakan yang indah karena bisa menimbulkan kesenangan, tanpa ada embel-embel keharusan untuk melaksanakan. Pandangan manusia yang merasa dirinya sebagai penguasa alam membawanya pada kondisi kepanikan global karena kerusakan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan itu akhirnya membawa manusia pada suatu kesadaran bahwa hidup manusia tak kan lestari tanpa ada usaha melestarikan alam. Muncullah teori-teori tentang kehidupan manusia dan kelestarian alam. Arne Naess, filsuf dari Norwegia dalam konsep yang disebutnya Ecosopy T mengatakan, ada tiga hal yang perlu manusia sadari dalam usahanya menyelamatkan alam dan lingkungan. Pertama, manusia harus memandang alam sebagai bagian dari dirinya sehingga usaha memelihara alam berarti juga memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam memunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang sedikit pun untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka seberapa pun besarnya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan alam, manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya.
V. Hubungan Manusia Dengan Manusia Lain
Antara manusia dan manusia terdapat hubungan yang sangat kompleks. Keduanya saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling bergantung satu sama lain. Contohnya hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan dari kedua ini dapat juga menghasilkan karya-karya besar(karangan) dari akal dan pikiran manusia masing-masing.
Masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan) atau masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh identitas bersama (yaitu kebudayaan yang dihasilkannya). Jadi hubungan manusia dengan manusia itu dapat tercipta jika ada kehidupan bersama yang terus-menerus (masyarakat).
Hubungan kedua ini juga merupakan kebudayaan yang tidak bisa di ciptakan oleh seseorang yang hidup sendirian di tengah hutan/ di gurun pasir. Sementara itu manusia dengan manusia dalam berinteraksi dan melakukan tindakan-tindakan itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah contoh hubungan simbiosis mutualisme(saling menguntungkan). Seperti halnya kita dalam mencari pekerjaan, pastinya kita membutuhkan orang lain dalam mencari informasi lowongan kerja dan pada saat itu kita akan berinteraksi sama orang itu. Dan mulai dari situ kita akan selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini merupakan salah contoh hubungan manusia dengan manusia. Contoh selanjutnya hubungan antara seorang ibu dengan anaknya yang saling terkait ikatan batin sejak lahir, ini dikarenakan dari anak itu lahir sudah hidup bersama-sama.

Komentar

Postingan Populer